Jumat, 22 Mei 2009

PENGGERAK EKONOMI SYARIAH


Nama yang disandangnya tepat dengan jabatan yang diamanahkan di pundak-nya. Dialah KH Ma’ruf Amien, Ketua Dewan Syari’ah Nasional (DSN). Ma’ruf Amin artinya yang baik yang dipercaya, atau yang diberi pengetahuan yang dipercaya. Kendati tidak pernah mengenyam pendidikan master (S2) apalagi doktor (S3) di bidang fiqh, ilmu Ma’ruf Amin tak jauh beda dengan mereka yang begelar doktor.

Lantaran itu pula wajar saja jika pengasuh pondok pesantren Al-Nawawiyah, Banten ini diberi amanah sebagai Ketua DSN. Di samping itu ia juga menjadi Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Rois Syuriah PBNU. Beberapa kedudukan itu sangat membutuhkan keulamaan, kefaqihan, dan keumaraan seseorang.

Usai berkelana menimba ilmu dari berbagai guru dan pondok pesantren, di antaranya pondok pesantren Tebuireng, Jombang pimpinan KH Yusuf Hasyim, Ma’ruf Amien mengaku prihatin dan sedih. Sedih bukannya karena ia tak mendapatkan lapangan kerja. Prihatin bukan karena menganggur. Tapi lantaran banyak lulusan dari pondok pesantren yang ilmunya tak dikembangkan. Akibatnya, ilmu itu mandul bin tumpul.

Nah, untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmu yang diperolehnya dari pesantren selama 10 tahun, ia aktif di ormas-ormas dan lembaga-lembaga Islam. Semula ia tergabung dengan pengurus ranting NU di daerah Jawa Timur dan akhirnya mendapat amanah di tingkat nasional.

Penggerak Ekonomi Syari’ah dari Pesantren

Di DSN sendiri, Ma’ruf Amien bersama koleganya ingin mengembangkan ekonomi dan keuangan syari’ah di seluruh jagat Nusantara. Di antara garapan yang sudah ditangani DSN antara lain, perbankan, asuransi, pasar modal atau reksadana yang berdasarkan nilai-nilai Islami. Selain itu, ke depan DSN juga berupaya memperbesar lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan Syari’ah serta memperluas jaringannya

Menurutnya, sistem konvensional tetap dibiarkan ada karena untuk penerapan dan pengamalan sistem syari’ah ini didasarkan atas asas kesadaran atau sukarela dari umat Islam, sehingga kesannya bukan karena paksaan. Lagi pula, “Masyarakat itu tidak bisa mengamali perubahan secara radikal. Selain itu kita ingin menguji mana yang lebih unggul dan kompetitif,” ujarnya

Jika dinilai, upaya pengembangan ekonomi syari’ah di Indonesia selama ini terhitung berhasil dan meng-gembirakan. Sebab, sejak pertama kali ditumbuh-kembangkan tahun 1990-an sampai sekarang, sudah hampir ratusan lembaga ekonomi dan keuangan syari’ah yang ada. Padahal, di tahun 1990-1998, bank syari’ah cuma satu bank, yakni Bank Mu’amalat Indonesia (BMI). Lalu 1998-2003, berkembang menjadi tujuh bank. dan saat ini telah berkembang 23 asuransi syari’ah, 20-an pasar modal Syari’ah dan 11 reksadana syari’ah.

Selain mengembangkan, men-dukung dan memotivasi berdirinya lembaga-lembaga dan Masyarakat Ekonomi Syari’ah, Ma’ruf juga bertindak sebagai pefatwa sekaligus pengawas perjalanan ekonomi-keuangan syari’ah. Karena itu pula, demi tegaknya ekonomi syari’ah, ia sering memberikan paparan tentang keunggulan ekonomi Islami ini di perguruan tinggi, lembaga-lembaga ekonomi-keuangan, dan hotel-hotel. Melalui upaya-upaya tersebut, diharapkan muncul dan tumbuh pemberdayaan umat Islam dalam bidang ekonomi.

Untuk mencetak ekonom-ekonom syari’ah yang mumpuni di bidang khazanah kitab-kitab fiqh klasik dan ekonomi modern, KH Ma’ruf Amien kini telah merintis dan mendirikan pesantren al-Nawawiyah, Banten. “Ke depan, kita ingin ada perguruan tinggi yang melahirkan pakar-pakar yang punya keahlian dalam dua bidang, yakni ahli fiqh dan ahli ekonomi Islam. Cita-cita itu, yang saya harapkan,” tuturnya. Diungkapkannya, dirinya tertarik untuk ikut serta menyemaikan ekonomi syari’ah di Tanah Air, karena Islam itu bukan saja mengandung ajaran aqidah, tapi juga menyangkut soal ibadah mu’malah (ibadah sesama manusia). Jadi penerapan ajaran ekonomi Islam itu, lanjut Rois Syuriah PBNU, bisa dikembangkan dalam kehidupan sehar-hari.Artinya rahmat bagi semua. Karena sistem syari’ah ini bukan hanya untuk umat Islam, tapi untuk siapa saja yang mau menggunakannya.

Pemikir-Politisi NU

Di samping aktif di ranah Ekonomi Syari’ah, KH Ma’ruf Amin saat ini juga bergiat di PBNU. Di lingkungan jam’iyah (ormas) yang didirikan tahun 1926 ini, Ma’ruf Amin termasuk tokoh pemikir. Dia pula yang menggagas adanya gerakan Tajdid (pembaharuan) di tubuh NU saat dirinya terpilih sebagai orang nomor dua di PBNU hasil Muktamar NU di Yogyakarta, 1989. Ihwal itu ditempuh, diakuinya, karena pada waktu itu di kalangan NU mengalami kemandegan berpikir. Pada masa ini, dirinya ingin mengembangkan metodologi dakwah NU. Metodologi itu berupa ittiba’ pada manhaj empat madzhab imam. Karena sebelumnya, pengambilan keputusan di NU didasarkan hanya pada satu madzab.

Ketokohan KH Ma’ruf Amin di mata kyai-kyai NU cukup disegani, bahkan disejajarkan dengan Gus Dur. Di saat kisruh antara kelompok GusDur-Muhaimin Iskandar dengan kelompok Alwi Shihab-Saefullah Yusuf di Muktamar PKB di Semarang beberapa bulan yang lalu, para kyai sepuh, termasuk kyai forum Langitan mendaulat KH Ma’ruf Amin sebagai calon tunggal Ketua Dewan Syuro PKB menggantikan Gus Dur.

Juru Bicara MUI

Keulamaan suami dari Hj. Siti Hurriyah ini semakin menonjol dengan aktivitasnya sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI. Di komisi inilah, KH Ma’ruf Amin harus selalu siap memberikan pendapat-pendapatnya, sesuai dengan ijma ulama-ulama MUI, tentang persoalan-persoalan yang berkembang di Indonesia, dari mulai soal medis, politik, makanan, sosial, serta lainnya, dan tentunya hukum. Demikian pula soal hak cipta, bunga bank, eutanasia dan sebagainya.

Dalam memberikan fatwa, KH Ma’ruf Amin tergolong moderat. Contoh fatwa pengharaman bunga bank. Fatwa bunga bank haram ini belum berlaku nasional karena hanya mengikat umat Islam di wilayah-wilayah yang terjangkau oleh lembaga keuangan syariah. Sedangkan di daerah yang belum terjangkau lembaga keuangan syariah, masih diterapkan prinsip darurat atau untuk sementara masih diperbolehkan.***ha